Publik menaruh ekspektasi tinggi terhadap janji-janji kampanye mereka, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui kebijakan ekonomi pro-rakyat dan upaya swasembada pangan.
Seratus hari pertama menjadi momentum yang sangat penting untuk mengejar kesan awal yang positif agar tingkat kepercayaan masyarakat semakin tinggi kepada Pemerintah.
Namun, dalam periode singkat ini, sejauh mana janji tersebut terealisasi? Apakah kebijakan yang telah dikeluarkan Pemerintahan Prabowo-Gibran benar-benar efektif?
Presiden Prabowo Subianto sendiri menyatakan puas pada periode 100 hari pertama masa kerjanya. Ia merasa pemerintahan yang dipimpinnya telah berhasil mengendalikan harga-harga, termasuk menurunkan harga tiket pesawat dan ongkos haji dalam 100 hari pertama sejak ia dilantik.
Kepala Negara meyakini keberhasilan itu karena kerja keras jajaran menteri dan kepala lembaga yang membantu dirinya. Ia juga mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah pemerintah berhasil menurunkan biaya haji.
Dari dunia usaha, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) juga merespons dengan baik kinerja 100 hari pertama Presiden RI Prabowo Subianto yang dianggap sudah peka dalam menjaga iklim usaha di Tanah Air.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menyebut, kepekaan Presiden dalam menjaga iklim bisnis di Indonesia, terlihat dari keputusan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang hanya difokuskan untuk barang-barang mewah. Hal tersebut dinilai tak hanya menjaga iklim usaha, namun turut mempertahankan daya beli masyarakat.
Di sisi lain ada salah satu kebijakan ekonomi paling menonjol dari pemerintahan Prabowo-Gibran yakni Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sejak diluncurkan pada 6 Januari 2025, program ini nyatanya telah berhasil menyediakan sekitar 570.000 porsi makanan di lebih dari 190 dapur yang tersebar di lebih dari 20 provinsi.
Dalam jangka panjang, pemerintah menargetkan hingga 83 juta penerima manfaat, mencakup anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan lainnya.
Secara teori, program ini diharapkan dapat meningkatkan gizi masyarakat, mengurangi stunting, dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dengan melibatkan petani serta UMKM dalam penyediaan bahan pangan.
Namun, ada pertanyaan besar terkait keberlanjutan program ini. Dengan estimasi biaya setara 4,39 miliar dolar AS pada tahun pertama dan total 28 miliar dolar AS dalam lima tahun, para ekonom mempertanyakan dari mana sumber pendanaan program ini akan berasal.
Pemerintah mengklaim bahwa efisiensi anggaran akan digunakan untuk membiayai MBG, namun pemotongan belanja negara sebesar Rp306,7 triliun yang baru diumumkan pada Januari 2025 masih menimbulkan pertanyaan apakah cukup untuk menutup kebutuhan anggaran program ini tanpa mengorbankan sektor lain.
Lebih jauh, efektivitas implementasi program ini juga menjadi sorotan. Sejumlah laporan dari lapangan menunjukkan bahwa distribusi makanan belum merata, dengan beberapa daerah mengalami keterlambatan pengiriman bahan pangan.
Selain itu, ada indikasi bahwa keterlibatan petani lokal dalam rantai pasok masih terbatas, yang seharusnya menjadi salah satu pilar utama kebijakan ini.
Tanpa sistem distribusi yang baik, ada risiko program ini justru akan menciptakan ketergantungan pada penyedia besar daripada memberdayakan ekonomi lokal.
Di sisi lain, upaya pemerintah dalam mewujudkan swasembada pangan juga mendapat perhatian khusus.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah proyek cetak sawah di Merauke, Papua, dengan target 100.000 hektare lahan baru.
Hingga akhir 2024, 40.000 hektare sudah ditanami, menandai awal dari ambisi besar menuju ketahanan pangan nasional.
Pemerintah juga berencana meningkatkan produksi padi, jagung, dan kedelai dengan memperbaiki infrastruktur irigasi serta memperluas penggunaan teknologi pertanian.
Namun, kebijakan swasembada pangan ini bukannya tanpa tantangan. Masalah klasik seperti konversi lahan pertanian, ketergantungan pada impor benih dan pupuk, serta fluktuasi harga pangan global masih menjadi ancaman besar.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa proyek cetak sawah ini bisa mengulangi kegagalan program sejenis di masa lalu, di mana pembukaan lahan baru tidak disertai dengan kesiapan ekosistem pertanian yang memadai.
Beberapa pakar pertanian menilai bahwa alih-alih memperluas lahan baru, pemerintah seharusnya lebih fokus pada peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada dengan mendukung petani melalui teknologi, akses permodalan, dan sistem distribusi yang lebih baik.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak bahkan sempat mengkhawatirkan gagasan kedaulatan pangan dan energi Pemerintahan Prabowo dimana pembukaan lahan akan meningkatkan emisi karbon, termasuk memicu kebakaran dan kabut asap, terutama di lahan gambut, juga memicu kekhawatiran terhadap komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia.
Namun, apapun itu, dari sisi sisi kepuasan publik, survei Litbang Kompas yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 menunjukkan bahwa 80,9 persen responden merasa puas dengan kinerja 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Angka ini cukup tinggi, mencerminkan bahwa kebijakan ekonomi yang dijalankan telah memberikan dampak psikologis positif di masyarakat.
Namun, penting untuk dicatat bahwa kepuasan publik dalam 100 hari pertama sering kali lebih dipengaruhi oleh ekspektasi dan pencitraan dibandingkan realitas di lapangan.
Keberhasilan jangka panjang dari kebijakan-kebijakan ini akan sangat ditentukan oleh bagaimana pemerintah mengelola anggaran, memastikan distribusi program berjalan efektif, serta menjaga stabilitas ekonomi makro.
Saat ini, tekanan ekonomi global masih cukup besar, dengan volatilitas harga energi dan pangan yang berpotensi mengganggu stabilitas harga domestik.
Jika kebijakan yang diambil lebih berorientasi pada popularitas tanpa perhitungan ekonomi yang matang, maka dampaknya bisa menjadi bumerang di kemudian hari.
Dalam konteks ini, pemerintah perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan kebijakan pro-rakyat.
Pertama, perlu ada mekanisme evaluasi dan transparansi yang lebih ketat dalam pelaksanaan program MBG agar tidak terjadi kebocoran anggaran dan memastikan efektivitasnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kedua, program swasembada pangan harus disertai dengan reformasi kebijakan pertanian yang lebih menyeluruh, termasuk memperkuat ekosistem agribisnis yang melibatkan petani kecil dan koperasi.
Selain itu, pemerintah juga perlu menjaga keseimbangan antara stimulus ekonomi dan kehati-hatian fiskal.
Pemotongan anggaran negara memang menunjukkan niat untuk efisiensi, tetapi jika dilakukan secara serampangan tanpa strategi jangka panjang, bisa berdampak negatif pada sektor-sektor lain yang juga penting bagi pertumbuhan ekonomi.
Sebagai contoh, pengurangan anggaran infrastruktur atau pendidikan bisa berdampak buruk dalam jangka panjang terhadap daya saing ekonomi nasional.
Dalam 100 hari pertama, Prabowo-Gibran telah mengambil langkah-langkah awal yang cukup berani dalam kebijakan ekonomi. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Pemerintahan ini perlu membuktikan bahwa kebijakan yang diambil bukan hanya sekadar pemanis politik, melainkan benar-benar membawa dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya pada bagaimana program-program ini berjalan dalam satu atau dua tahun ke depan, tetapi bagaimana memastikan bahwa fondasi kebijakan ekonomi yang dibangun dapat bertahan dan memberikan dampak positif dalam jangka panjang.
Masyarakat masih menunggu bukti konkret dari janji-janji kampanye yang telah disampaikan.
Sepanjang 100 hari pertama mungkin cukup untuk menciptakan kesan awal yang positif, tetapi ujian sebenarnya dari kepemimpinan Prabowo-Gibran dalam bidang ekonomi akan ditentukan oleh seberapa konsisten dan efektif kebijakan mereka dalam beberapa tahun ke depan.
No comments:
Post a Comment