Husaini Yusuf SP MSi, Staf Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Aceh, dan alumnus IPB University |
SALAH satu target Presiden
Prabowo Subianto dalam sektor pertanian adalah mewujudkan swasembada pangan
dalam empat hingga lima tahun kedepan. Ini merupakan target yang sangat ideal
dan bagus untuk diwujudkan demi kedaulatan bangsa dan petani. Bentuk keseriusan
Prabowo dalam mencapai swasembada pangan tersebut adalah dengan membentuk satu
kementerian khusus yakni Kementerian Koordinator Pangan yang di dalam termasuk
Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Di samping itu ada Badan Pangan
Nasional (Bapanas), Badan Karantina Indonesia, termasuk BUMN pangan seperti Id
Food dan Perum Bulog.
Untuk mewujudkan cita-cita mulia
tersebut memang bukan perkara mudah dan instan. Tentu butuh proses. Pemerintah
dihadapkan pada berbagai kendala, di antaranya adalah ancaman perubahan iklim
(change climate) yang terus menjadi momok menakutkan khususnya bagi sektor
pertanian.
World Meteorological
Organization (WMO) atau Badan Meteorologi Dunia menyebutkan bahwa perubahan
iklim telah merubah pola iklim di Indonesia. Pola iklim El Nino diprediksi akan
menjadi hantaman terbesar dalam peningkatan produksi pertanian di masa akan datang.
Jika diamati dalam beberapa bulan terakhir, prediksi WMO tersebut hampir
menjadi kenyataan. Salah satu bentuknya adalah kekeringan ekstrem yang terus
melanda di beberapa provinsi di Indonesia termasuk di Aceh.
Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Provinsi Aceh mencatat suhu dalam tiga bulan terakhir di
beberapa kabupaten/kota mencapai 36-37,9 oC. Menurut BMKG, suhu tersebut
tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Di berbagai daerah hawa panas tersebut
sangat terasa.
Di Indonesia, pola musim terbagi
dua siklus yaitu musim kemarau dan hujan. Dalam beberapa tahun terakhir, dua
siklus ini kerap kali ditandai dengan kondisi tidak normal. Misalnya kekeringan
panjang dengan suhu di atas rata-rata yang disebut dengan El Nino dan Fenomena
La Nina yang kondisinya menyebabkan curah hujan lebih tinggi dari kondisi
biasa.
Beberapa dampak langsung akibat
perubahan iklim tersebut adalah kekeringan ekstrem, pergeseran musim tanam,
munculnya hama dan penyakit baru yang tak diduga. Curah hujan tinggi misalnya,
bisa mengundang banyak hama yang merusak tanaman padi dan membuat kuantitas
serta kualitas padi menurun. Perubahan iklim dapat mengganggu ketersediaan
pangan, mengurangi akses terhadap pangan, dan memengaruhi kualitas pangan.
Oleh karenanya, upaya pemerintah
untuk mewujudkan swasembada pangan benar-benar harus dikawal. Apa yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi ancaman El Nino itu? Tentu semua kita harus
bergandengan tangan untuk melakukan mitigasi dan bahkan adaptasi terhadap
perubahan iklim itu. Presiden Prabowo setidaknya memberikan sinyal penekanan
pada dua aspek penting dalam mencapai swasembada pangan di era perubahan iklim
ini. Pertama Intensifikasi dan kedua Ekstensifikasi.
Intensifikasi
Tantangan dari Presiden itu
harus dicarikan solusi oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang baru
saja dilantik dalam Kabinet Merah Putih Prabowo Subianto-Gibran. Kebijakan
Prabowo menunjukkan kembali Amran sebagai Mentan dinilai banyak pihak sebuah
kebijakan politik yang sangat visioner karena program Amran pada periode Jokowi
dapat dilanjutkan. Beberapa strategi intensifikasi yang dapat dijadikan sebagai
acuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pertama, teknologi dalam
tata kelola usaha tani yang tepat.
Di antara tata kelola usaha tani
yang dianjurkan itu adalah dalam pemilihan komoditas dan varietas yang tahan
(tolerance) terhadap kekeringan. Badan Standardisasi Instrumen Pertanian
(BSIP), Kementerian Pertanian telah banyak menghasilkan varietas-varietas
tanaman terutama padi yang toleran kekeringan, tahan banjir dan juga padi yang
cocok pada kondisi endemi hama dan penyakit tertentu.
Untuk lahan kering misalnya, ada
varietas Inbrida Padi Gogo (Inpago). Varietas ini cukup bagus ditanam pada
lahan tadah hujan dan kekeringan. Produksi hasil Inpago ini tidak jauh berbeda
dengan Inbrida Padi Irigasi (Inpari) yang menjadi andalan petani pada lahan
sawah irigasi. Inpari ini banyak pilihan dari Inpari 1 hingga 50 dengan
spesifikasi dan kelebihan masing-masing. Demikian halnya pada kondisi lahan
tergenang (banjir/rawa). Kementerian Pertanian melalui BSIP juga sudah
menyiapkan beberapa varietas pilihan toleran genangan seperti Inbrida Padi Rawa
(Inpara). Beberapa Inpara yang tersedia antara lain Inpara 1 hingga 12.
Sebenarnya, Kementan juga telah
meluncur Kalender Tanam Terpadu yang sangat aplikatif bagi petani terutama
untuk menentukan berbagai varietas yang akan digunakan di lapangan seperti
disampaikan di atas. Tata kelola kedua yang perlu diperhatikan adalah penggunaan
pupuk tepat waktu dan jumlah. Ini penting sekali dan harus menjadi perhatian.
Bahwa penggunaan pupuk kimia (anorganik) berlebih khususnya berbasis nitrogen
(N) dapat meningkatkan kadar gas nitrogen oksida di udara (N20). Menurut
Chandini et al, (2019) ini adalah salah satu faktor pemicu pemanasan global.
Oleh karenanya, perlu dilakukan
pemupukan secara berimbang sehingga keberlanjutan lahan juga terjaga. Ada
beberapa komponen penting dalam menentukan rekomendasi pemupukan khususnya
komoditas padi, antara lain melalui perangkat uji tanah (PUTS), perangkat uji
tanah kering (PUTK) dan dengan perlakukan langsung pada Omisi Plot di lapangan.
Lalu, petani juga dapat
memanfaatkan teknologi sederhana dalam menentukan pemupukan dengan menggunakan
bagan warna daun (BWD) dan uji analisis sampel tanah di laboratorium. Beberapa
teknologi yang disebutkan ini praktis, mudah dan murah serta sangat dekat
dengan petani. Tata kelola ketiga yang tidak boleh diabaikan dalam mitigasi
perubahan iklim adalah manajemen pengelolaan oleh kelompok tani (poktan).
Misalnya dalam pengendalian organisme tanaman (OPT), sistem pengelolaan air
yang di dalamnya termasuk konservasi sumber daya air, dan inovasi teknologi
irigasi hemat air.
Strategi keempat adalah
peningkatan kapasitas SDM. Di sini difokuskan pada peningkatan kapasitas
penyuluh lapangan (PPL) dalam pengambilan keputusan serta asesmen kebutuhan
teknologi yang tepat guna sesuai kondisi lapangan dan peningkatan kapasitas
petani terutama petani milenial agar mereka makin berminat pada sektor
pertanian sehingga keberlanjutan regenerasi tetap terjaga. Di era digitalisasi
ini, kita harus meyakinkan petani bahwa pemanfaatan informasi digital tidak
bisa diabaikan karena semua informasi bisa diakses lewat sistem tersebut mulai
dari pengetahuan teknis, informasi pasar, cuaca dan bahkan ekspor impor produk
pertanian.
Ekstensifikasi
Beberapa program ekstensifikasi
yang perlu dilakukan dalam menanggulangi kekurangan produksi seperti program
penanggulangan kekeringan dalam bentuk distribusi pompa kepada petani. Upaya
ini sebagai langkah mengantisipasi menurunnya luas panen dan menjaga produksi
tetap stabil. Kita berharap, dengan adanya bantuan pompa, petani dapat
melakukan tanam pada lokasi-lokasi lahan tadah hujan (lahan kering) dari satu
kali menjadi dua kali dalam setahun. Tentu ini meningkatkan indeks pertanaman
(IP) dan meningkatkan ekonomi di tingkat pedesaan.
Selain itu, perluasan lahan
sawah baru menjadi suatu keniscayaan untuk mendukung program swasembada pangan.
Di samping juga pembangunan waduk yang representatif sebagai wadah untuk
menampung air hujan dan air limpahan pada musim hujan, sehingga dapat digunakan
pada musim kemarau atau saat kekurangan air.
Selama ini kita melihat bahwa
ketika terjadi hujan deras, air yang berlimpah terbuang sia-sia bahkan
mengakibatkan banjir dan merusak ekosistem dan pemukiman. Dengan ketersediaan
air waduk produktivitas lahan petani makin meningkat seiring dengan peningkatan
indeks penanaman. Di samping itu, pemerintah harus memberikan perhatian khusus
untuk membangun dan memperbaiki irigasi yang disfungsi.
Di Kabupaten Aceh Utara
misalnya, akibat tidak berfungsinya bendungan irigasi Krueng Pasee
mengakibatkan 8.900 ha lahan sawah produktif terbengkalai sehingga petani
menuju garis kemiskinan. Bahkan menurut informasi yang penulis dapati di
lapangan kondisi ini telah merambah pada aspek sosial (kriminal) di tengah
masyarakat.
Kondisi kritis ini harus segera
dicari solusi alternatif agar petani tetap produktif dan ketahanan pangan
terutama di tingkat rumah tangga terpenuhi dengan baik. Disinyalir, potensi
kehilangan hasil setiap musim tanam pada lahan terbengkalai itu sebesar 50.730
ton gabah (Rp 253,6 miliar).
No comments:
Post a Comment